ITS News

Sabtu, 27 April 2024
13 Maret 2006, 15:03

Sertifikasi Keahlian, Tanggung Jawab Moral Pelaku Kontruksi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Tuntutan terhadap persaingan global menjadi masalah penting dalam bidang jasa kontruksi, khususnya untuk mendapat pengakuan internasional. Saat ini, Indonesia telah mempersiapkannya lewat UU no.18 tahun 1999, yang mengatur standar kompetensi melalui sertifikasi keahlian. Dengan UU itu, para pelaku di bidang jasa kontruksi wajib memiliki standar kompetensi yang diakui lewat kepemilikan sertifkat keahlian.

Bidang jasa kontruksi tersebut diantaranya, arsitek, sipil, mekanik, elektronik dan tata ruang. Masing-masing bidang ini telah memiliki standar kompetensi yang telah diatur sesuai kebutuhan dalam proses pembangunan. Diawali dari tingkat pemula sampai tingkat lanjut, disesuaikan menurut tingkat kompetensi yang dikuasai.

Ada beberapa fungsi yang terkandung dalam sertifikasi keahlian ini antara lain, kebutuhan di bidang jasa kontruksi yang telah diatur dalam UU no. 18 tahun 1999, pengakuan terhadap disiplin ilmu pengetahuan (science), menghadapi persaingan globalisasi serta meningkatkan daya saing produksi.

Selain itu, dikatakan Suprayitno, arti pentingnya sertifikasi keahlian ini, yaitu sebagai wujud tanggung jawab secara profesional dalam proses pembangunan bidang konstruksi. “Tanggung jawab moral secara profesional yang diakui dari sertifikasi keahlian ini menjadi arti penting dalam melaksanakan di bidang jasa kontruksi, seperti halnya yang terjadi di tol Cipularang, karena proses kontruksi ini dapat menelan jiwa jika terjadi kesalahan,” jelas Prayitno.

Namun hingga sekarang banyak ditemukan kasus penyalahgunaan pengeluaran sertifikat keahlian. Tanpa diikuti standar kompetensi secara objektif, seseorang mampu mendapatkan selembar sertifikat keahlian. Hal ini menjadikan sertifikat keahlian sebagai komoditas yang diperjualbelikan untuk mendapat keuntungan pribadi semata. ”Sayangnya sampai sekarang masih ada lembaga yang mengeluarkan sertifikat bodong, tanpa harus memiliki keahlian sesaui kenyataan, sesorang sudah bisa membawa pulang sertifikat ini,” ungkap Prayitno.

“Kasus penyalahgunaan tersebut bukan lagi termasuk permasalahan perdata, namun sudah bisa berada di tingkat hukum pidana yang dapat dijerat hukuman penjara sedikitnya lima tahun, karena lagi-lagi akibatnya tidak sekedar bangunan namun jiwa yang akan jadi korban,” tambah Prayitno.

Menimbang pentingnya pengakuan standar kompetensi berupa sertifikasi keahlian, ITS segera mengadakan program kerjasama dengan menjadikan dirinya sebagai salah satu lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikat keahlian. “Program kerjasama segera akan kami lakukan, dalam rangka menjadikan ITS sebagai salah satu lembaga untuk sertifikasi semua bidang keahlian, tentunya hal ini setelah mendapatkan akreditasi dari Lembaga Pengembangan Jasa Kontruksi,” jelas Noor Endah.

Daya Saing Kompetitif
Acara yang dimoderatori Prof Ir Indrasurya B Mochtar MSc PhD, juga membahas tentang daya saing dan nilai jual bagi para alumni di tengah persaingan global. ”Kemampuan mengembangkan kreativitas dan inovatif dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi faktor utama dalam meningkatkan daya saing yang cerdas dan kompetitif,” jelas Noor Endah.

”Ada beberapa masalah yang sering kali menjadi penyakit bagi para alumni, yaitu kurangnya memiliki rasa percaya diri, sebenarnya secara kompetensi para alumni ITS tidak kalah, bahkan mereka mampu unggul dalam persaingan nilai jual,” ungkap Pembantu Rektor I ITS ini.

Kemampuan kecakapan, baik dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris menjadi salah satu solusi mengatasi rasa kurang percaya diri. Karena itu, ITS sejak lama menetapkan skor minimal TOEFL 450 bagi para calon alumninya (S1).

Tak hanya itu, saat ini ITS juga telah merancang program pertukaran mahasiswa antar perguruan tinggi negeri di Indonesia. Program student exchange ini dikhususkan untuk mata kuliah umum yang nantinya bisa ditempuh di perguruan tinggi negeri lain sesuai kompetensinya. Dengan batasan cuti maksimal dua semester, mahasiswa dapat mengambil minimal 9 sks dan maksimal 19 sks.

”Dengan program exchange student ini diharapkan mahasiswa dapat merasakan keadaan perkuliahan di ITB, UGM, UI atau perguruan tinggi lainnya sesuai yang dipilihnya, dengan begitu mahasiswa ITS khususnya dapat menumbuhkan rasa percaya diri dalam menghadapi persaingan global,” jelas Noor Endah. (han/rin)

Berita Terkait