ITS News

Kamis, 25 April 2024
25 Februari 2006, 12:02

Pembatasan Media Sebagai Re-Orba-isasi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sejak Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Sofyan Djalil mengumumkan untuk dilakukan registrasi ulang seluruh nomor telepon selular yang ada di Indonesia, saya mulai cemas. Pikiran saya melayang pada sebuah film yang berjudul Enemy of The States, dimana dalam film itu diceritakan mengenai penyadapan legal yang dilakukan pemerintah federal Amerika terhadap segala komunikasi yang dilakukan oleh rakyatnya. Beberapa pihak –diperankan oleh Will Smith— merasa gerah dengan adanya penyadapan legal ini, bagi mereka penyadapan itu telah melanggar asas kebebasan berkomunikasi dan asas demokrasi yang dijunjung tinggi oleh bangsa Amerika. Pemerintah federal sendiri berdalih hal ini dilakukan sebagai pencegahan kegiatan terorisme.

Hal serupa juga terjadi di China. Seperti dilansir situs BBC beberapa waktu lalu, pemerintah China memberlakukan proteksi untuk internet khususnya fasilitas search engine. Google sendiri sebagai search engine terbesar akan segera meluncurkan censored versionnya tidak lama lagi. Hal ini tentu mengundang reaksi keras dari berbagai pihak. Kebanyakan dari mereka berpendapat, di era saat ini sudah bukan saatnya pemerintah China memberikan batasan akses informasi, pembatasan itu hanya akan kembali mengingatkan publik China akan rezim-rezim diktator di masa lalu.

Ada benarnya dilakukan pembatasan terhadap media saat ini, toh banyaknya media kurang diimbangi dengan kontrol sosial yang baik, hasilnya banyak media yang keluar dari aturan ketimuran. Bahkan euforia media ini hanya dirasa sebagai selebrasi budaya import yang semakin menggurita. Jika kita jeli memperhatikan, saat ini banyak media import yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Target marketing media-media import-translated ini juga tidak main-main, Anda dapat dengan mudah menemukan Men’s Health di lapak-lapak kecil di pinggiran jalan. Atau jka ingin lebih, Anda dapat dengan sekali lirikan mata melihat gantungan majalah dewasa FHM bersanding dengan Kompas dan Jawa Pos. Hal ini dirasa sudah cukup dijadikan alasan untuk dilakukan pembatasan media, namun pembatasan akan informasi P2P akan sangat berlebihan.

Akses P2P merupakan jenis akses yang sangat personal, tidak selayaknya akses ini dijadikan konsumsi pihak ketiga apalagi akses publik. Memang benar, para pelaku kejahatan pun memilih menggunakan media ini karena dirasa keamanannya jauh lebih terjamin. Namun yang harus dipikirkan adalah kinerja Badan Intelijen Negara (BIN) dalam menangani kasus seperti ini. Jika kejahatan maupun pencegahan akan terjadinya aksi terorisme menjadi alasan utama Menkominfo menetapkan aturan ini, maka dikhawatirkan akan terjadi overlapping dengan BIN, hal ini jelas dipertanyakan efektifitasnya.

Kejadian Bom Bali II merupakan satu bentuk ketidakseriusan BIN dengan itikadnya untuk memerangi aksi terorisme. Kini saatnya BIN membuktikan eksistensinya dengan kerja nyata. Penyadapan media yang dilakukan hanya akan menambah panjang daftar PR yang harus dilakukan pemerintah, sedangkan efektifitasnya sendiri masih diragukan.

Ayos Purwoaji
Penulis adalah mahasiswa Despro

Berita Terkait