ITS News

Jumat, 19 April 2024
06 Januari 2006, 12:01

Dosen ITS Berikan Alternatif Pengganti Formalin

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sebagai bahan pengawet makanan, meski dilarang dan tidak dianjurkan, agaknya formalin memang tidak dengan begitu saja bisa ditinggalkan. Kalau saat ini orang ramai membicarakannya dan mencoba meninggalkannya, maka beberapa waktu lagi tetap saja para pengguna akan kembali. Ini jika tidak disertai dengan penyuluhan dan komitmen yang kuat baik dari masyarakat, akademisi maupun lembaga yang berwenang untuk mengawasi peredaran makanan.

Hal itu dikemukakan Dr N L Ida Soeid, MS, dosen Kimia ITS dalam perbincangan dengan wartawan, Jumat (6/12) siang. “Sebenarnya sudah sejak lama orang tahu penggunaan formalin dan boraks pada beberapa makanan untuk kepentingan pengawetan. Tapi selama itu pula dibiarkan, sehingga ketika kini dipersoalkan dan dilakukan pengetatan penggunannya, semua ribut, seolah hal yang memang perlu diperhatikan,” katanya.

Itulah sebabnya, Nurul, demikian doktor bidang biokimia nutrisi ini mengatakan, ke depan yang diperlukan adalah komitmen dan kesungguhan untuk benar-benar melarang dan melakukan tindakan keras terhadap mereka yang masih saja menggunakan formalin dan boraks sebagai bahan pengawet makanan. “Apa pun alasannya tidak diizinkan menggunakan formalin dalam takaran sekecil apa pun untuk makanan, karena memang bahan itu bukan untuk pengawet makanan,” tegasnya.

Apa yang dikhawatirkan terhadap penggunaan formalin? “Kehadiran formalin dalam tubuh sesungguhnya akan mengacaukan susunan protein atau RNA sebagai pembentuk DNA didalam tubuh manusia. Jika susunan DNA kacau, maka akan memicu terjadinya sel-sel kanker dalam tubuh manusia,” paparnya.

Tentu saja, katanya menambahkan, prosesnya akan memakan waktu lama. Tapi cepat atau lambat susunan DNA yang kacau akibat formalin yang dikonsumsi tiap hari tersebut dapat menyebabkan kanker. “Itulah sebabnya saya sangat mendukung jika memang harus dilakukan tindakan keras. Persoalannya, pemerintah harus bisa mencarikan jalan keluar dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat secara terus menerus, sehingga orang kemudian sadar betul terhadap efek dari formalin yang masuk ke dalam tubuh manusia,” katanya.

Jalan keluar apa yang harus diberikan pemerintah? “Pemerintah harus mencarikan alternatif lain agar makanan dapat tahan lama atau lebih awet. Ada beberapa alternatif untuk menggantikan formalin agar makanan tetap awet atau tahan lama,” ungkap Nurul.

Salah satunya, ungkapnya, adalah penggunaan kunyit pada tahu. Karena selain dapat memberikan warna dan sebagai antibiotik, kunyit juga mampu mengawetkan tahu agar tidak cepat asam. Bagaimana jika kita tetap menginginkan tahu berwarna putih? “Siapkan saja air bawang putih untuk merendam tahu agar lebih awet dan tidak segera masam. Upaya-upaya inilah yang harus diberikan penyuluhan kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak hanya menuntut makanan awet tanpa mempedulikan bahan pengawet apa yang dimasukkan oleh para produsen makanan,” katanya.

Menurut Nurul, proses dalam pembuatan tahu yang benar sesungguhnya dapat juga mengawetkan tahu. “Yang saya tahu di Jatim, proses pembuatan tahu tidak dilakukan dengan cara memasak kacang kedelainya terlebih dahulu hingga matang. Prosesnya semuanya dalam keadaan mentah, sehingga tahu yang dihasilkan tidak bertahan lama. Alangkah lebih baiknya jika kacang kedelai sebagai bahan baku tahu itu dimasak terlebih dahulu, hingga tahunya pun lebih tahan lama,” katanya.

Lalu bagaimana dengan pengawetan mie dan ikan seperti yang banyak diberitakan media massa menggunakan formalin tersebut? “Untuk mie basah, sebaiknya dalam proses pembuatannya menggunakan air ki. Air ki ini bisa dibeli di toko-toko obat cina. Air ki ini dapat mengawetkan mie dengan aman, karena air ini diperoleh dari proses pengendapan air dan abu merang padi,” paparnya.

Jika kita mau membuatnya sendiri, katanya, juga cukup mudah, tinggal bakar merang padi, kemudian ambil abunya lalu dicampur air dan endapkan. “Tapi sayang kini karena padi yang dihasilkan petani tidak terlalu tinggi, maka kerap kali kita sulit menemukan merang saat ini, karena batang padi dan merangnya langsung dibakar oleh para petani setelah padi dirontokkan,” katanya.

Sedangkan untuk ikan, Nurul menyarankan untuk menggunakan asam sitrat. “Ikan baik basah maupun kering atau asin, dalam proses pengawetannya bisa dengan asam sitrat. Membuatnya juga mudah, dari air kelapa lalu diberi mikroba, maka jadilah asam sitrat. Di toko-toko asam sitrat yang sudah siap pakai juga tersedia. Tapi akan lebih baik jika dibuat secara alamiah melalui proses kimiawi dengan mikroba, ,” katanya. (humas/ftr)

Berita Terkait