ITS News

Sabtu, 20 April 2024
25 September 2005, 09:09

Harga BBM Naik, Setuju atau Tidak?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Jika ditilik dari judul, seminar nasional yang diadakan BEM ITS ini ingin menggugah pemikiran masyarakat luas khususnya civitas kampus. ”Kembali ke Era Lampu Teplok?” begitulah bunyinya, sangat menggelitik namun sarat makna. Lalu apa yang sebenarnya telah terjadi pada bangsa ini? Hal itu diungkapkan Salim Darmawan, Kepala Departemen Sosial Politik BEM ITS pada sambutannya di awal kegiatan.

Dikatakan Salim, kebijakan kenaikan tarif BBM mulai Oktober mendatang disinyalir akan berdampak besar (multiplier effect) pada berbagai bidang. Akibat yang akan paling terlihat, dikatakannya, pada ekonomi rakyat serta pada pembangkit listrik di Indonesia. ”Oleh karena adanya multiplier effect kenaikan BBM, lewat seminar ini diharapkan mampu memberi pemahaman apa yang sebenarnya telah terjadi di Indonesia,” katanya.

Sebenarnya untuk memberi pemahaman yang lebih mengenai permasalahan energi ini, BEM ITS telah berusaha menghadirkan pembicara yang sangat berkaitan dengan topik. Dalam daftar pembicara yang diundang, terdapat nama-nama orang kompeten. Sebut saja Sunggu Anwar Aritonang (Direktur Niaga dan Pelayanan Pelanggan PLN Pusat), Sutan Batugana (Anggota Komisi VII DPR-RI), Ichsanuddin Noorsy (Pengamat Politik dan Ekonomi Nasional). Tapi pemilik nama-nama itu ternyata kemarin tidak dapat hadir. ”Konfirmasi ketidakhadiran mereka sehari sebelum kegiatan. Memang sangat mendadak,” kata Salim kecewa dan memohon maaf sebesar-besarnya pada peserta.

Namun, BEM ITS masih mempunyai beberapa pembicara yang juga kompeten yakni Dr Makky dosen Fisika ITS, Cuk Sukiadi Ekonom Universitas Airlangga, Presiden BEM ITS Setyo Martono, serta M Shodiq Ketua Serikat Pekerja Pertamina. Dengan orasi dari pembicara yang hadir itu, peserta yang awalnya sempat dibuat menunggu pun jadi kembali antusias.

Dr.rer.nat Makky S Jaya, dalam presentasinya mengaitkan permasalahan energi di Indonesia dengan bidang yang dikuasainya yaitu Geofisika. ”Secara umum, Indonesia ini masih kaya. Dari 60 cekungan yang ada, sekitar 38 titik di wilayah timur Indonesia, belum dimanfaatkan,” kata Makky.

Ironisnya, dikatakan lulusan universitas di Jerman ini, negara Indonesia saat ini mengalami kemunduran produksi migas. Bahkan kini Indonesia berpredikat importir migas. Ini tentunya biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan energi semakin mahal. Padahal, kebutuhan energi listrik di Indonesia saat ini masih bergantung pada bahan bakar fosil. ”Krisis ini seharusnya lebih ditilik dari segi bagaimana kita mengolah potensi yang masih terselubung itu. Meski sulit sekalipun,” tegas Makky.

Pembicara selanjutnya, pengamat ekonom Universitas Airlangga Cuk Sukiadi, mengetengahkan kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif BBM berdasar pandangan ekonomi. Dari segi keilmuannya, Pakar Perbankan Surabaya ini menyatakan setuju dengan kebijakan itu. Dikatakannya, menurut fakta subsidi BBM yang sampai di masyarakat miskin hanyalah 6 persen, sedangkan di kalangan terkaya mencapai 47 persen. ”Jadi untuk apa kita membela orang-orang yang kaya,” cetus pria beruban yang mengaku tidak ada kaitan khusus dengan Pemerintah SBY ini. Pernyataan itu kontan saja mengejutkan peserta yang kebanyakan mahasiswa.

Lalu, Cuk kembali mengatakan, bahwa subsidi BBM di APBN mencapai 20 persen dari total keseluruhan anggaran. ”Jika itu berlanjut jangan harap ada pembangunan,” kata Cuk mantap. Selain mengungkap data berupa angka-angka Cuk juga memaparkan akibat dari subsidi pemerintah yang berlebihan seperti penyelundupan BBM ke industri luar negeri.

Pemaparan Cuk, dinilai membuat kejutan di kalangan peserta yang mayoritas dari kalangan mahasiswa. Setelah mendengar pemaparan dari Makky dan terlebih Cuk Sukiadi, peserta antusias dan tak jarang terlihat satu dengan lainnya berdiskusi kecil.

Mahasiswa Bergerak
Tidak kalah seru dari sebelumnya, Presiden BEM ITS Setyo Martono mengutarakan pemikirannya mengenai polemik subsidi BBM. Dikatakan Martono, alasan pencabutan subsidi BBM versi pemerintah tidak mengena. ”Subsidi di APBN, termasuk subsidi BBM bukanlah satu-satunya pos pengeluaran yang memberatkan APBN. Masih ada pos pembayaran utang pokok dan bunga, untuk utang di dalam dan luar negeri,” ungkap Martono.

Sedangkan alasan pemerintah mengenai subsidi BBM yang salah sasaran dan menggantinya dengan dana kompensasi BBM, mahasiswa Teknik Sipil ITS ini menilai masih belum tepat. Dikatakan Martono, program kompensasi juga masih salah sasaran dan seringkali bocor. ”Dari 11 program hanya 2 yang efektif, dan disinyalir 33 persen dana bocor. Seharusnya konsep program kompensasi dilakukan menyeluruh serta dijamin akurasi datanya dan tepat sasaran,” kata Martono.

Dalam presentasi singkatnya, Martono juga memaparkan beberapa kesimpulan. Pertama ia menghimbau pemerintah menempatkan persoalan BBM sebagai bagian dari evaluasi kebijakan energi nasional yang terpadu. Kedua, pemerintah harus melakukan perubahan paradigma manajemen utang luar negeri. Dan, sesungguhnya penghapusan dan pengurangan pembayaran bunga obligasi bank rekap merupakan “subsidi” paling salah sasaran.

Untuk dana kompensasi, dikatakannya, harus ada program yang menyeluruh serta dijamin tepat sasaran. Itu untuk meminimalkan dampak negatif kenaikan harga BBM akibat penghapusan subsidi BBM. Selanjutnya, Pemerintah dihimbau segera membenahi Pertamina yang mengakibatkan ketidakefisienan BUMN. ”Jika itu tidak dilakukan Pemerintah harus menunda kenaikan BBM,” tegas Martono seraya mengajak segenap mahasiswa untuk bergerak. (asa/tov)

Berita Terkait