ITS News

Jumat, 19 April 2024
28 Agustus 2005, 06:08

Jalan Panjang Perfilman Indonesia

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Saat ini, sangat menarik membicarakan perfilman Indonesia karena film karya anak negeri mulai bermunculan. Seperti dalam Diskusi Film Gie dan Gerakan Lokal Hadapi Ideologi Asing yang diadakan Surabaya Cinema Education ITS ini. Diskusi yang diadakan di lobi Perpustakaan Pusat ITS, Sabtu (27/8) ini hadir sutradara muda Riri Riza, seorang aktris dalam Gie, Sita Nur Santi, dan Robby Tumewu. Selain mereka, diskusi tengah hari itu juga dihadiri oleh wakil walikota terpilih Surabaya Arif Afandi, serta dosen ITS Drs Kresnayana Yahya.

Dalam diskusi yang terasa gayeng itu terungkap bahwa meski sedang menunjukkan tanda-tanda kebangkitan, bisa dibilang jalan bagi film nasional untuk bisa setara dengan film asing masih panjang. Terpuruknya industri perfilman tak lepas dari berbagai hal. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah yang tidak mendukung. Misalnya tentang aturan pajak. “Film buatan dalam negeri harus membayar pajak yang sama dengan film buatan luar negeri. Jadi kalau kita membayar Rp 10.000 untuk masuk bioskop maka yang 20 persen harus kita bayar sebagai pajak dan sisanya dibagi antara pemilik bioskop dan produser,” cerita Riri Riza.

Hambatan lain dari pemerintah adalah masalah sensor yang digunakan pemerintah untuk mengatur film mana yang boleh beredar. “Yang berada di badan sensor itu dari pihak militer dan intelejen” ungkap Riri Riza. Menurut sutradara muda ini, Pemerintah Orde Baru memang sengaja mengekang perfilman Indonesia sebab mereka takut rakyat akan bersikap kritis. Akibatnya bisa dilihat, “Kita banyak yang tidak kenal dengan tokoh seperti Gie,” tutur Riri Riza.

Selain hambatan dari pemerintah juga tumbuh semacam budaya yang tidak sehat di dunia film. Dulu film itu seperti dibuat oleh para "empu" yang seolah tidak bisa disentuh. Hal ini menimbulkan semacam keseganan sineas muda untuk memulai film mereka sendiri.

Untuk menjadi sutradara film pun dahulu ada semacam jenjang yang harus dilalui untuk bisa menjadi sutradara. “Pertama ia harus menjadi magang dulu, menjadi penulis naskah, lalu menjadi asisten sutradara baru bisa menjadi sutradara film,“ jelas sutradara Kuldesak ini.

Menurut pakar Statistika ITS, Kresnayana Yahya, salah satu faktor yang menyebabkan kemunduran dalam dunia film adalah karena pembangunan yang bersifat Jakarta-sentris di masa Orde Baru. Akibatnya sarana perfilman hanya berkembang di Jakarta. “Para seniman berbakat dari daerah hampir semuanya pergi ke Jakarta,” terang Kresnayana Yahya.

Sebenarnya Surabaya tidak kalah dalam hal kreativitas. Dalam perkembangan film pun Surabaya juga berperan. “Banyak film-film pertama di masa kemerdekaan yang diproduksi di Surabaya” jelas Kresnayana Yahya yang juga pernah mengenyam pendidikan di salah satu sekolah seni ini.

Dengan dimulainya otonomi daerah, Kresnayana mengharapkan daerah bisa mulai mengembangkan sarana untuk pengembangan film sendiri. Pendirian Surabaya Cinema Education oleh ITS dan Parsi dinilainya sebagai langkah awal yang baik.

Wakil walikota Surabaya yang baru terpilih, Arif Afandi sepakat bahwa pemerintah harus memudahkan perkembangan perfilman dalam negeri, antara lain dengan menghilangkan peraturan yang memberatkan. “Untuk membuat studio film saat ini masih membutuhkan izin gangguan lingkungan seperti industri yang lain. Saya rasa peraturan yang menyusahkan semacam ini sudah saatnya dihilangkan.” ungkap Arif

Gie memang termasuk film yang penting dalam sejarah perfilman Indonesia. Dengan budget delapan miliar rupiah, film ini menjadi film Indonesia termahal yang pernah dibuat. Selain itu Gie juga mengangkat sosok tokoh mahasiswa angkatan 66. Hal ini membuat Gie cocok dibicarakan baik dalam konteks sebagai film yang ikut berperan dalam kebangkitan film nasional maupun peran Soe Hok Gie sebagai seorang tokoh pembaharuan.

Meski mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan dengan muncul film karya sineas muda sebenarnya perfilman Indonesia masih belum stabil. “Saat ini bisa saja ada satu film yang laris namun besok ada yang film yang jatuh di pasar” ungkap Riri Riza.

Untuk itu, Riri meminta peran para pemuda untuk ikut serta. “Kita bisa memulai membuat film-film pendek, “ jelas sutradara berkaca mata ini. Ia juga mengharapkan masyarakat agar selalu memberi kritik bagi industri film. “Agar para produser itu sadar akan tanggung jawabnya untuk menghasilkan film yang berkualitas,” terangnya dalam diskusi yang dipadati puluhan mahasiswa ITS ini.(rif/sep)

Berita Terkait