ITS News

Sabtu, 20 April 2024
27 Agustus 2005, 16:08

Belajar Peka Dari Catatan Harian Seorang Demonstran

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Riri yang hadir bersama Sita Nur Santi dan Robbie Tumewu siang itu, Sabtu (27/8), kemudian menceritakan pengalamannya saat bersama kru film Gie mengambil syuting di Gunung Pangrango. “Ketika kita syuting disana, kita melihat kondisi penduduk yang sangat berbeda. Jauh dari fasilitas enak. Kemajuan, apalagi teknologi, belum sampai kesana. Masyarakat masih terbelakang. Dari sana kepekaan kita dapat tumbuh, terutama kepekaan sosial,” ujar pria berkacamata ini kepada puluhan mahasiswa di lobi Perpustakaan ITS dalam dialog film Gie dan sosialisasi program pendidikan satu tahun Surabaya Sinema Education.

Dalam kumpulan catatan harian Soe Hok Gie, lanjut Riri, tokoh yang meninggal di puncak Gunung Semeru tiga puluh tahun silam ini juga mengungkapkan bahwa naik gunung bisa menguji diri untuk hidup sulit. Sehingga dapat menyadari ketidakberuntungan yang dimiliki orang lain.

Riri yang mengenakan kaos biru saat itu juga telah mengenal tokoh kelahiran 16 Desember ini sebagai inspirasi pergerakan mahasiswanya di IKJ dulu. Saat Mira Lesmana menyodorkan buku ini di tengah pembuatan film Ada Apa dengan Cinta?, Riri langsung mengaguminya. “Saya serasa keselek, sungguh gila anak muda kurus ini. Sejak itu saya berniat membuat filmnya. Saya serasa berjodoh dengannya,” ujar pemilik nama lengkap Mohammad Rivai Riza ini.

Dan buku Catatan Harian Seorang Demonstran tersebut juga diusulkan Riri untuk menjadi buku berstatus wajib baca bagi mahasiswa. “Buku ini sangat inspiratif. Di UI, buku ini jadi bacaan wajib mahasiswa baru di sana. Daripada ospek diteriaki kan mending dikasih aja buku Gie,” ungkapnya yang kemudian disambut tepuk tangan mahasiswa.

Sita Nur Santi yang berperan sebagai Ira dalam film ini juga mengamini pendapat Riri. “Dia orang yang sangat unik. Gie sangat peka dan berani. Dan dia juga seorang yang romantis. Kalau dia masih hidup sudah saya kejar-kejar dia,” canda penyanyi jebolan RSD ini.

Tak hanya bercerita tentang film Gie, Riri juga mengaku senang dengan dibukanya Surabaya Sinema Education ITS-PARSI. “Perfilman Indonesia belumlah independen. Bidang lain sudah melakukan reformasi, tapi perfilman kita belum dan masih terikat dengan perundangan lama. Kita membutuhkan bantuan dari berbagai pihak seperti kampus. Kalau bisa, bikin klub sineas yang militan. Adakan kegiatan diskusi film-film. Atau bikin penilaian terhadap sepuluh film terburuk misalnya. Berikan kritikan-kritikan. Banyak yang harus diperbaiki, kita bisa memulainya dari hal yang kecil,” papar sutradara muda yang memulai debutnya melalui film Kuldesak ini. (ftr/tov)

Berita Terkait