ITS News

Jumat, 19 April 2024
03 Mei 2005, 17:05

Pasar Bebas bagi Tanah Indonesia

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Rumah adalah kebutuhan dasar manusia dan wadah pembentukan keluarga. Jumlah penduduk di perkotaan yang makin bertambah, berdampak pada meningkatnya kebutuhan tempat tinggal di sana. Namun kenyataannya, di Indonesia terjadi ketimpangan antara kebutuhan dengan penyediaan perumahan.

Menurut Ir. Putu Gede Aristita, Dosen Prodi PWK ITS, pengembangan perumahan yang ada saat ini belum tepat sasaran. ”Kebutuhannya adalah perumahan murah, namun saat ini yang banyak disediakan adalah perumahan tingkat menengah ke atas, seperti maraknya pembangunan real estate oleh pengembang (swasta atau developer-red)," ujarnya.

Dari kenyataan tersebut, pihak swasta sebenarnya memilki potensi penyediaan perumahan murah untuk segmen masyarakat menegah ke bawah. Permasalahan kenapa perumahan murah tidak dilirik oleh developer adalah tidak adanya kepastian tata ruang yang mendukung penatagunaan lahan serta menjamin tersedianya lahan untuk perumahan murah dan kesulitan dalam perijinan serta pensertifikatan tanah.

Bahkan menurut Nurulhaqi, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Real Estate Indonesia Jawa Timur dan Pengembang Citraland, perumahan murah justru hanya memindahkan kekumuhan. ”Perumahan membutuhkan lahan yang murah. Sedangkan lahan murah berlokasi jauh dari pusat kota sehingga menyebabkan kehilangan peluang mendapatkan tambahan penghasilan karena jauh dari pusat perdagangan yang mana berada di pusat. Sehingga banyak yang berpendapat bahwa arti perumahan murah adalah semu, karena biaya hidup, utilitas tidak memadai. Ini menuntut pemilik rumah untuk mengeluarkan biaya lebih.” tambah Nurul.

Ir. Eko D. Heripoerwanto, MCP tidak memungkiri hal tersebut. Sebenarnya pemerintah memiliki peraturan-peraturan untuk perumahan agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia tetapi tidak berhasil. Seperti program 1-3-6, satu rumah mewah di antara tiga rumah menengah dan enam rumah sederhana (murah). Namun program ini tidak bisa dijalankan karena pasar tidak mendukung.

Kasubdit Penyiapan Kebijakan Pembiayaan Perumahan itu berkomentar, “Pengendalian tidak bisa berjalan baik karena tanah di Indonesia berada di pasar bebas. Terserah maunya pemilik tanahnya akan dijual kemana, negara (pemerintah-red) tidak bisa melarangnya. Pemilik tanah adalah pemilik hak tertinggi pemilikan lahan. Jelas, kalau seperti ini perumahan murah kalah dengan ma". Berbeda dengan Singapura, dimana pemerintahnya mengatur seluruh penggunaan lahan. Mereka sadar tidak punya banyak lahan sehingga perumahan di sana diatur dengan baik. Singapura adalah negara murni kapitalis. Namun untuk tanah Indonesia ternyata lebih liberalis dari negara yang murni kapitalis.

”Pengendalian pengalihgunaan lahan di Indonesia itu tidak jelas. Mudah saja di suatu lahan yang strategis yang awalnya adalah perumahan dibeli oleh swasta untuk pabrik, mal, atau lainnya yang mana lebih menguntungkan dari sekedar perumahan murah. Sehingga lahan untuk rumah murah habis setelah terpepet dengan bisnis properti yang lebih menguntungkan,” kata Nurulhaqi menanggapi kenyataan tersebut.

Pihak Citraland ini memberikan solusi pembangunan perumahan murah dengan rumah susun di perkotaan yang dibangun oleh pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan memanfaatkan tanah milik negara. ”Di Jepang, rumah karyawan suatu kereta api berada di stasiun kereta api itu juga. Stasiun tersebut ditinggikan untuk rumah-rumah dinas. Sehingga laju kerja karyawan lebih ekonomis karena jarak kantor tidak jauh dengan rumah. Bagaimana di Indonesia?” tambahnya seraya mengajak peserta berpikir bersama untuk solusi ke depan. (mac/rin)

Berita Terkait