ITS News

Rabu, 08 Mei 2024
21 April 2005, 17:04

Para Suami di ITS, Waspadalah!

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Banyaknya tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, membuat pemerintah merasa perlu melindungi hak-hak anggota yang ada didalamnya. Melalui Undang-Undang No. 23 tahun 2004 yang baru saja disahkan 22 September 2004 lalu, tindakan kekerasan secara fisik, mental maupun seksual dalam rumah tangga dapat diajukan ke meja hijau.

Umumnya, istri sebagai kaum lemah di rumah tangga sering dijadikan sasaran tindakan kekerasan oleh suami. Dengan undang-undang tersebut, sang istri dapat melaporkan tindak pidana tersebut ke polisi. Namun di lapangan, sedikit istri yang mau melaporkan suaminya. Iini karena perempuan di Indonesia masih terikat dengan adat ketimuran dimana istri tidak boleh membuka aib suaminya.

“Iya bu, kita ini kan masih harus patuh dengan adat Jawa. Kalau ada aib di rumah tangga sebaiknya tidak disebarkan ke umum. Nggak pantes. Bisa juga nanti saat lapor malah diliput oleh wartawan, memo lagi. Tapi kalau tidak dilaporkan ya gimana. Trus kalau suami yang dilaporkan apa langsung berurusan dengan polisi?” tanya salah satu ibu dari jurusan FTSP pada seminar “Perlindungan Kekerasan dalam Rumah Tangga” yang diadakan oleh Dharma Wanita Persatuan ITS, dalam menyambut Hari Kartini ini.

Ida Sampit Karo Karo, SH CN MH yang menjadi pembicara pagi itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya berkali-kali. “Iya, pertanyaan yang bagus sekali. Prosedurnya seperti ini, istri melapor ke PPT (Pusat Pelayanan Terpadu-red) kami, lalu dirujuk ke rumah sakit untuk divisum sebagai bukti. Saat konseling, kami menjamin tidak akan ada wartawan, mereka sudah dilarang. Kemudian dengan bimbingan hukum dan konseling, akan ditawarkan kepada istri apa mau melanjutkannya ke polisi,” papar pakar hukum Universitas Surabaya ini.

Ida yang asli Banjarmasin ini pun menceritakan bahwa 50% para istri ternyata tidak mau melaporkan suaminya ke polisi. Alasan ekonomi serta malu terhadap gunjingan orang lain adalah alasan yang utama. “Awalnya mereka bertanya apakah kalau diteruskan ke polisi, suamuinya akan disidang dan dipenjara. Kami jawab iya. Mendengar itu, mereka malah mundur dan bilang ,kasihan anak-anak bu, mereka pasti juga malu sama teman-temannya kalau punya bapak di penjara. Trus nanti yang ngasih makan kami siapa? Nggak usah diterusin aja, bu. Sudah nasib rek, oleh bojo ngamplengan, kalau sudah begini kami tidak bisa apa-apa, hanya memberikan kepada keduanya konseling agar peristiwa tersebut tidak terulangi,” ujar anggota LBH Tiara Yudistia ini.

Keberadaan UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini menurut Ida, bukan untuk membolehkan para istri melanggar kewajibanya untuk menjaga nama keluarga. Juga bukan untuk menakut-nakuti para suami atas kebijakan yang diambilnya sebagai pemimpin rumah tangga. Hal itu semata-mata dilakukan sebagai usaha untuk memberdayakan wanita Indonesia. Wanita berhak menuntut hak-hak kemerdekaan, kebebasan serta rasa amannya.

“Tapi jangan mentang-mentang habis ikut seminar ini, ketika pulang suami langsung disodori daftar kejahatannya. Ini loh Pak, kalau Bapak lakukan bisa dituntut dengan UU 23. Wah! Ya jangan begitu,” kelakar Ida diikuti derai tawa peserta.

Hal senada juga diungkapkan Rektor ITS, Prof Moh Nuh, DEA saat membuka seminar di Graha Sepuluh Nopember ITS tersebut. “Tidak hanya suami yang galak, Istripun juga bisa galak. Maka sebenarnya yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga adalah kegalakan itu sendiri. Istri tidak hanya terus menuntut hak, tapi ia juga harus melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu,” ujar Nuh. Pada peringatan hari yang disebut Nuh sebagai harinya ibu-ibu itu, ia juga mengungkapkan kepedulian ITS atas rumah tangga di keluarga besar kampusnya. “Karena keadaan rumah tangga akan mempengaruhi kinerja kita,” paparnya. (ftr/rin)

Berita Terkait