ITS News

Jumat, 19 April 2024
15 Maret 2005, 12:03

Testimoni Sukarelawan Bulan Sabit Merah Indonesia di Aceh

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Acara testimoni atau kesaksian yang disampaikan dr Didin Nuzul Ariefin dari Bulan Sabit Merah Indonesia itu begitu mengundang perhatian yang hadir. Betapa tidak cerita dokter ini tidak hanya menceritrakan satu persatu apa yang dia lihat pertama ketika menginjakkan kaki di tanah rencong, sehari setelah kejadian dengan kata-kata yang mengundang kengerian, tapi juga ditunjukkan dengan foto-foto digital melalui layar LCD. "Masa Allah, betapa mengerikan dan kasihan mereka," kata salah seorang hadirin yang menyaksikan gambar-gambar itu.

Dokter Didin menceritrakan tentang perjalanannya yang memang tidak pernah ia duga sebelumnya. "Ketika saya ditelepon pada pukul 12.00 untuk ke Bandara pada pukul 13.00 dan berangkat ke Aceh, tidak ada bayangan sedikit pun akan kengerian yang saya saksikan kemudian, karena waktu itu media televisi hanya menginformasikan kalau yang meninggal hanya ratusan orang saja, sehingga saya pikir mungkin korbannya lebih besar sedikit dari banjir di Blitar atau gempa di Alor," katanya.

Tapi apa yang ditemukan ketika mendarat di Bandara di sana, suasanannya tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, mayat bergelimpangan di mana-mana, bangunan semua rata dengan tanah, dan kepanikan penduduk tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. "Saya pun menangis melihat kondisi itu. Ketika ada seorang yang luka parah dan harus diberikan pertolongan, misalnya, dokter yang ada tidak mencukupi. Satu-satunya rumah sakit yang masih bisa digunakan ada di Rumah Sakit Angkatan Darat itu pun dokternya hanya tiga," kata Didin menjelaskan.

Diungkapkannya, ia merasa terguncang melihat kedaan itu. Betapa tidak ketika dirinya mau menolong dengan cara mengoperasi korban, peralatan tidak mencukupi. Akhirnya jalan satu-satunya hanya dilakukan dengan perban dan mencuci luka dengan antiseptik. "Saya tahu itu tidak akan membantu karena cepat atau lambat luka itu akan lebih parah dan membawa ke kematian, tapi tidak ada jalan lain yang bisa saya lakukan.Dan kenyataannya pun benar terjadi, dalam dua-tiga hari, mereka yang sebelumnya selamat akhirnya meninggal karena lukanya memang begitu parah, dan secara medis mestinya memang harus dilakukan operasi," katanya.

Didin juga menceritakan tentang mayat-mayat yang tidak terurus dan kemudian menimbulkan bau yang sangat menyengat. "Mayat-mayat itu memang tidak terurus, kalau pun ada yang mengevakuasi itu datang dari keluarga sendiri, yang memang bisa mereka dikenali, selebihnya membusuk dan menebarkan bau," katanya.

Dikatakan Didin, saking begitu menyengatnya bau mayat-mayat tadi, perutnya tidak terasa lapar sedikit pun meski seharian belum diisi. "Bagaimana kami punya rasa lapar kalau baru saja ingin memasukkan makanan ke mulut, tiba-tiba saja mau menyengat menghampiri hidung, sehingga akhirnya kami memilih tidak makan dan akibatnya rasa lapar pun hilang," katanya.

Ia juga menjelaskan tentang kenapa mayat-mayat itu dibiarkan membusuk. Alasannya selain tidak banyak orang yang bisa diandalkan untuk segera mengevakuasi korban, juga karena keterbatasan alat. Misalnya, kata Didin menjelaskan, pada hari ketiga para sukarelawan di sana sudah memutuskan untuk melakukan penguburan massal para korban itu, tapi ternyata alatnya tidak ada. "Kalau ada kendaraan alat berat di sana, orang yang mengoperasikannya hilang tertelan gelombang, ada orang yang bisa mengoperasikannya tapi kunci mobilnya hilang terbawa gelombang, ada orang, kendaraan dan kunci, bahan bakar untuk menjalankannya tidak ada. Pokoknya serba kekurangan," katanya.

Dokter Didin sendiri tinggal di daerah bencana itu selama seminggu dan kini setelah sebagian daerah sudah mulai terbuka dan dibersihkan, lembaganya sudah bisa membangun rumah sakit satelit, rumah sakit yang dibangun di bawah tenda tapi sudah bisa melakukan operasi ringan untuk menolong mereka yang mengalami patah tulang, cedera dan lainnya. "Hingga saya pulang kemarin kondisinya memang masih belum pulih benar, tapi sudah jauh lebih baik ketimbang ketika saya pertama kali sampai. Mereka kini sangat membutuhkan bahan makanan dan obat-obatan serta air bersih. Tapi itu pun belum semua daerah dan merata, karena memang masih ada beberapa daerah yang masih sulit terjangkau," katanya. (Humas/bch)

Berita Terkait