ITS News

Jumat, 29 Maret 2024
15 Maret 2005, 12:03

Sepeda Air Moncong Hiu

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Dan, sempat pula hendak dibeli 20 unit oleh Dinas Pariwisata Pemkot Surabaya. Meski akhirnya batal karena kesibukan studi mereka. Apa kelebihannya?

Anang (ketua), Pradin (kepala divisi bodi), Budi (kepala divisi desain), Didik (kepala divisi mekanik), Daryono dan lima rekannya yang lain-lah yang mencipta sepeda air bertitel Wahana Tirta tersebut. Sepeda yang bentuknya sangat mirip dengan kapal boat punya panjang total 299 cm ini berbodi fiberglass reinforce plastic plus resin selaku rem perekatnya.

"Fiberglass ini sebenarnya ditujukan untuk pelayaran di perairan laut, sehingga untuk operasi air tawar seperti di Kalimas akan mampu bertahan sekitar 20 tahunan dari korosi dan karat," kata Awang. Selama tiga bulan mereka membuatnya. Tahap awal dimulai pembuatan cetakan dari kayu, semen dan melamin. Laminasi dilakukan dengan menempelkan resin dan fiber ke dalam cetakan. Nah, setelah kering baru diangkat dan dilepas dari cetakan.

Sesudah itu dirancang sistem mekanik padel wheel (engkol). Mulanya mereka merencanakan sepeda yang dibimbing Ir Murtedjo, Ir Roni, Ir Yeyes dan Ir Krio ini ditenagai mesin pompa atau sepeda motor. Meski akhirnya kedua alternatif itu batal, "Karena mesin pompa terlalu berat dan besar. Sedang sepeda motor terbentur dana," kata Budi mahasiswa Kelautan '97.

Akhirnya pilihan jatuh kepada engkol yang diperkokoh penegar besi. Penegar berfungsi memperkokoh padel wheel, sehingga alat penggerak mekanik tidak menempel ke bodi sepeda. Walhasil, kalau ada perbaikan alat penggerak tidak ikut mengutak-atik bodi.

Lambungnya menggunakan catamaran (dua lambung). Sistem lambung ganda ini dikenal lebih stabil dan lazim dipakai oleh kapal-kapal cepat (hydrofoil). Dikatakan Budi, sepeda kreasi mereka memang tak terlalu menitikberatkan pada kekuatan menahan gelombang karena kecepatannya tak terlalu tinggi: 1,32 meter/detik. Jadi, desain dengan software AutoCAD 2000 lebih ditujukan kepada artistik kapal dan kehematan pemakaian bahan.

Kesulitan timbul saat sepeda ini diuji di Kalimas. Saat itu damnya dibuka sehingga arus cukup deras. "Ternyata kecepatan uji sepeda di kali ITS yang tanpa gelombang itu turun menjadi 0,7-0,8 meter/detik setelah menerima arus kuat," kata Budi.

Mereka pun mencari solusi yang ditemukan ketika sepeda dijalankan mundur ternyata justru bisa lebih cepat. Maka, kemiringan sudu-sudu kincir yang semula searah dengan sudu kemudian dibalik. Selain itu jumlah ruji sudu-sudu dikurangi dari 12 menjadi enam. Tujuannya memaksimalkan kekuatan kayuhan engkol.

Sengaja baling-baling kapal (propeler) tak dipakai, karena kapal dirancang untuk kecepatan tinggi. Dan, moncong kapal dibuat tak menyerupai kotak, tapi mirip hiu. Semua demi pertimbangan aerodinamis: tahanan udara lebih kecil dan sepeda melaju mulus. Perbaikan lain setelah beruji-coba adalah penambahan ballast (pemberat) di depan agar sepeda seimbang dan tak njomplang ke belakang (trim by bow).

Hasilnya sepeda elegan yang didanai Dikti Rp.14 juta itu pun selesai. Sebegitu mahalkah? Tidak. "Kalau produksinya masal hanya sekitar Rp.8,5 juta." (frd)

Berita Terkait