ITS News

Kamis, 28 Maret 2024
15 Maret 2005, 12:03

Rahardi Lepas Jaket Kuning

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Rahardi yang kini menjabat anggota Dewan Penasihat Golkar memutuskan untuk melepaskan jaket kuning (jaket seragam Golkar). Rencananya, Senin mendatang, teknokrat yang juga guru besar ITS itu akan menyampaikan surat permohonan pengunduran dirinya ke Kantor DPP Partai Golkar di Slipi, Jakarta Barat.

"Bagi saya, Partai Golkar dan dunia politik bukan tempat untuk mengekspresikan interes politik saya. Selama menjalani persidangan, saya tidak punya arti bagi Partai Golkar dan mungkin malah membebani," katanya dalam jumpa pers di Kafe Tamani, Kebayoran Baru, Jakarta, kemarin. Ikut mendampingi Rahardi adalah istrinya, Tumbu Iswari Astiani, 62, dan putri bungsunya, Dian Kunti Sintorini, 27.

Seperti diketahui, Selasa kemarin, Rahardi dijatuhi vonis dua tahun oleh majelis hakim PN Jaksel terkait dengan kasus penyalahgunaan dana nonbujeter Bulog Rp 62,9 miliar. Selain vonis itu, Rahardi diharuskan membayar denda Rp 50 juta subsider 3 bulan, mengganti dana yang dikeluarkan Rp 400 juta, dan melunasi biaya perkara Rp 7.500. Rahardi sendiri mengajukan banding terhadap putusan itu.

Dari pengalamannya selama di pengadilan, mantan kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu justru merasa Partai Golkar memojokkannya. Terbukti, tak ada fungsionaris Partai Golkar yang menaruh simpati terhadap persidangan yang dijalaninya. Sikap moral simpatisan dan fungsionaris Partai Golkar itu bahkan berbalik seratus delapan puluh derajat dengan persidangan Akbar Tandjung yang juga telah divonis tiga tahun dalam kasus korupsi dana nonbujeter.

Rahardi yang pernah menjadi juru kampanye Golkar di sejumlah pemilu itu memprihatinkan sikap sebagian besar fungsionaris Partai Golkar yang terkesan takut menghadiri persidangannya. "Setelah saya renungkan, rasanya, saya sengaja dikorbankan," tandasnya dengan tatapan mata menerawang.

Apa komentar DPP Partai Golkar? Dihubungi tadi malam, Ketua DPP Partai Golkar Marzuki Darusman menganggap wajar niat Rahardi untuk mengundurkan diri.

Selain itu, menurut dia, Partai Golkar juga tidak merasa kehilangan. Sebaliknya, Partai Golkar jutsru diringankan atas mundurnya Rahardi.

"Ini berarti satu beban di partai (Partai Golkar) menjadi hilang. Sebab, kepengurusan partai memang memerlukan orang-orang yang tidak bermasalah," katanya kepada Jawa Pos.

Diakuinya, selama ini perhatian Partai Golkar kepada Rahardi terbilang kecil. Bukan karena Rahardi selama ini terbilang kurang aktif sebagai dewan penasihat, tapi massa dan simpatisan Partai Golkar lebih diarahkan fungsionaris DPP ke persidangan Akbar. "Saya sendiri memahami yang dilakukan DPP, mengingat Akbar selaku ketua umum merupakan lambang partai," ujar mantan jaksa agung itu.

Juga Kecewa Orang Habibie

Sementara itu, Rahardi juga menyesalkan sikap sejumlah orang dekat mantan Presiden B.J. Habibie yang selama ini dianggap memojokkan dirinya. Tanpa tedheng aling-aling, Rahardi lalu menuding mantan Irjenbang dan anggota MPR, Laode Kamaluddin. Laode dianggap melakukan kebohongan besar karena tak mengaku kenal kepada dirinya.

Padahal, kata Rahardi, selaku Irjenbang dan Menperindag/Kabulog tentunya sering berhubungan karena hampir setiap rapat kabinet selalu bertemu. "Pak Laode itu duduk di belakang Pak Habibie setiap sidang kabinet. Lalu, mengapa sekarang berpura-pura tidak kenal," jelasnya.

Rahardi juga menyesalkan tidak adanya ungkapan simpati dari orang-orang yang sebelumnya dekat dengan Rahardi, antara lain, mantan Presiden B.J. Habibie maupun orang-orang di Habibie Center. Siapa orang Habibie Center yang dianggap "berkhianat" itu, Rahardi enggan menyebutkan. "Tidak perlu saya sebut, tentunya Anda tahu siapa orang-orang Habibie Center itu," ujarnya.

Rahardi sendiri kemarin menegaskan dirinya kini tidak aktif lagi di Habibie Center menyusul pemberhentian tidak hormat oleh Habibie beberapa bulan lalu. Jabatan Rahardi di Habibie Center adalah chairman di Center for the Socialization and Implementation of Technology. "Ketika itu saya sungguh terkejut atas penonaktifan saya di Habibie Center. Rasanya, ketika itu, saya mulai ditinggalkan teman-teman saya."

Oleh karena itu, dirinya sejak awal sudah yakin bahwa kasusnya itu memang sarat muatan politik untuk menyelamatkan pihak-pihak tertentu dan menjadikan dirinya sebagai korban. "Sejak awal saya yakin bahwa ini adalah permainan politik. Saya dijadikan tersangka, awalnya, kan oleh permainan Pak Mahfud, Rizal Ramli, dan Gus Dur, yang kemudian diteruskan ke Pak Lopa (Baharuddin Lopa -jaksa agung saat itu- Red)," katanya seraya menambahkan, hal itu berlanjut kepada orang-orang yang berkaitan langsung dengan kasus tersebut, seperti Akbar Tandjung, Habibie, maupun Partai Golkar sendiri. (agm/bh)

Berita Terkait