ITS News

Jumat, 26 April 2024
15 Maret 2005, 12:03

Pendidikan; Kunci Mengubah Status Sosial

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Chester Carlson umpamanya, lahir di kawasan kumuh dan harus kehilangan sosok Ibu di usia remaja tak membuatnya patah arang. Ia yakin dan gigih menempuh pendidikan walau cuman sebatas sekolah menengah. Namun tanpa pendidikan itu mustahil rasanya ia bisa menemukan mesin fotokopi. Sebuah keajaiban teknologi di awal abad 20.

Carlson yakin dengan pendidikan hidupnya bakal menjadi lebih baik. Sejarahnya juga banyak mencatat bagaimana pendidikan bisa menjadikan hidup jauh lebih baik. Malaysia, negeri jiran ini tampaknya memiliki keyakinan yang lebih besar dari kita. Malaysia konon berhasil mengirim mahasiswa ke mancanegara lebih banyak dibanding Indonesia. Padahal, penduduknya tidak lebih dari 30 juta.

Mungkin dibanding Malaysia kita pun terasa jauh. Jangankan ke luar negeri, kuliah di negeri sendiri pun terasa mencekik. Dengan pertambahan jumlah penduduk miskin yang positif, pendidikan justru kian melangit harganya.

ITB bisa jadi kampus teknologi nomor satu di Indonesia. UGM pun boleh menjadi kampus terbesar. Tapi apakah itu bisa dinikmati semua? Belum tentu, kecerdasan menentukan ketatnya persaingan. Siapa berprestasi pasti bakal lulus. Walau fakta membuktikan keberuntungan pun mutlak diperlukan di sini. Itu hanya berlaku dalam tiga dasawarsa terakhir.

Untuk menikmati pendidikan berkualitas, parameter prestasi bisa jadi nomor dua saat ini. Duit, duit, dan juga duit. Itu nomor satu sekarang. Entah PTN atau PTS sama saja. Bisa dilihat bagaimana ITB bersedia menyediakan kursi kuliah seharga USD 20.000. Unair pun tak mau kalah. Dengan dana Rp. 75 juta Unair menyediakan jalur khusus menjadi dokter.

Tujuh puluh juta rakyat sudah miskin secara ekonomi. Tidak adil rasanya negara ini jika untuk mengubah nasib anak cucu mereka pun tak boleh. Pendidikan rasanya satu-satunya pintu masa depan yang lebih baik. Jika PTN saja tidak bisa dijangkau, sulit rasanya membayangkan kehidupan anak-anak mereka kelak. Miskin dan tetap miskin.

Pintu pendidikan sebenarnya masih bisa dibuka lebar kembali. Banyak hal yang harus dibenahi. Efesiensi, merupakan langkah paling tepat saat ini. Perlu diakui, PTN tergolong boros dalam mengelola sumber daya. Tidak beda dengan instansi dalam negeri lainnya, PTN rasa-rasanya perlu bekerja keras untuk menekan biaya operasional. Mungkin saja kita perlu belajar menghemat selayak PTS. Tapi penulis yakin itu terasa sangat sulit dilakukan oleh manajemen PTN mana pun. Pemborosan bisa dibilang sudah membudaya.

Jadi, nampaknya pendidikan di sini memang ditakdirkan bukan menjadi barang murah. Selamat datang masa depan suram bangsa. Yang miskin tambah miskin, kaya tambah kaya. (Ariyo Wibowo)

Berita Terkait