ITS News

Kamis, 28 Maret 2024
15 Maret 2005, 12:03

Nepotisme Dalam Sorotan: refleksi diskursus pemikiran tentang nilainya

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Dalam kamus Purwadarminta dituliskan nepotisme sebagai hal memberikan jabatan kepada saudara-saudara atau teman-temannya saja. Sedangkan Jhon M. Echols mengkategorikannya sebagai kata benda dengan mendahulukan saudara, khususnya dalam pemberian jabatan.

Penulis tidak hendak memberikan alternatif definisi nepotisme, karena selain tidak mempunyai kapabilitas dalam etimologi, penulis hanya mencoba mengkritisi arti nepotisme ditinjau dari nilai normatif baik-buruk yang diimplementasikan dalam untung-rugi sisi manusia dalam kemanusiaannya.

Ketika seorang pemimpin diangkat untuk menjalankan roda organisasinya maka dibutuhkanlah beberapa pembantu untuk mengelola organisasi itu. Agar organisasi itu berjalan maka antara pembantu dan pemimpinnya harus saling percaya karena dari saling percaya ini akan didapatkan sinergi kerja yang saling melengkapi dan menyempurnakan dalam mencapai tujuannya. Untuk bisa saling percaya harus terjadi proses saling mengerti dimana didahului oleh proses saling mengenal.

Kenal!. Ya…. harus kenal. At first!.
Kemudian ketika seorang pemimpin itu mengenal beberapa orang yang potensial dari kalangannya (termasuk keluarga) maka tidak bisa disalahkan apabila dia meminta orang-orang tersebut untuk membantunya. Sebab selain dia harus percaya, tugas untuk menjalankan roda organisasi harus dilaksanakan dengan cepat, efektif dan efisien. Dan apabila kualifikasi untuk menjadi pembantu itu terdapat pada keluarga, apakah kita juga harus menolak dengan alasan nepotisme? Sedangkan untuk efisiensi dia harus mengambil keputusan dengan cepat. Sedangkan dia tidak mengenal orang lain yang di luar lingkungannya? Kecuali apabila dia juga mengenal orang lain dengan kualitas yang lebih baik atau sama tetapi dia tidak memintanya untuk membantu maka pilihan inilah yang bernilai negatif. Yaitu motif negatif untuk mementingkan keluarga. Jadi dari sudut pandang ini maka terjadinya nepotisme adalah sesuatu yang wajar dan logis adanya.

Adalah benar praktik nepotisme bisa mengakibatkan timbulnya ketidakadilan akibat penguasaan informasi dan akses oleh beberapa pihak saja padahal seharusnya terdapat transparansi dalam informasi dan akses sehingga semua pihak dapat berpartisipasi. Pada akhirnya terjadi kompetisi dan hasil kompetisi adalah yang terbaik yang akan digunakan. Dan proses ini terjadi dengan adil!

Bila informasi dan akses dibatasi hanya untuk beberapa pihak saja maka telah terjadi ketidakadilan terhadap sumber daya informasi dan akses yang pada akhirnya akan menimbulkan ketidakpuasan dan bisa menimbulkan kemarahan apabila tidak segera diantisipasi. Sebab kemarahan yang disebabkan oleh sekelompok orang dengan jumlah sangat besar adalah tiada beda akibatnya dengan suatu pemberontakan.

Namun pada sisi lain pengambilan pembantu dari kalangan sendiri (keluarga: red) selain penghematan efisiensi waktu juga mempertinggi kesolidan tim kerja dan tentu saja rasa kekeluargaan akan tetap selalu ada. Dan harus kita pahami rasa berkeluarga adalah perasaan yang indah dan mententramkan di tengah arus kehidupan materialis dan kapitalis ini. Mau tidak mau kita tetap harus mengakui bahwasanya ikatan darah adalah ikatan yang hanya bisa diputuskan apabila seseorang mati.

Dari pembahasan diatas timbul di benak penulis beberapa pertanyaan seputar nepotisme, yaitu:
1. Bagaimana sesuatu proses pengambilan pembantu di seputar kekuasaan dikatakan nepotisme?
2. Batasan-batasan apa yang harus diberikan apabila nepotisme adalah buruk?
4. Benarkah nepotisme selalu merugikan ?Adakah yang menguntungkan? Bagaimana?
5. Jika menguntungkan demi efisiensi mengapa banyak orang mempermasalahkan praktek-praktek nepotisme?
6. Dan apakah tidak mungkin jargon ini diakibatkan oleh kecemburuan dari yang tidak kebagian?
7. Jika merugikan, bagaimana solusi untuk kasus sumber daya potensial yang tidak dikenal oleh sang pemimpin?
8. Bagaimanakah solusi untuk kasus-kasus nepotisme yang disebabkan oleh sistem?

Berani menjawab???

Tiga hal pokok yang harus ada dalam membicarakan nepotisme:

Batasan-batasan.
Batasan-batasan untuk menentukan suatu hal menempatkan beberapa keluarga dalam sistem kekuasaan haruslah diberi batasan dan alasan yang jelas dan logis untuk mengkategorikannya dalam kelompok nepotisme negatif. Batasan ini harus ada dahulu mengingat kita ingin membahas secara tuntas tentang permasalahan nepotisme.

Peraturan dalam Sistem.
Peraturan yang jelas, tegas dan mengikat tentang nepotisme dan praktek-prakteknya sebagai produk hukum formal dan legal yang berlaku bagi seluruh warga.

Sistem mengawasi dan menindak pelanggaran atas peraturan.
Sistem dalam bentuk lembaga yang konsisten mengawasi dan menindak pelanggaran atas peraturan tersebut di atas.

Dimana ketiga unsur ini harus ada dan aktif kinerjanya sehingga nepotisme yang lebih merupakan suatu praktek, tidak berakibat buruk! Selama unsur dan persyaratannya tidak terpenuhi, tidak cukup pulalah buat kita untuk mempersoalkan terjadi tidaknya praktik nepotisme. Disamping belum memenuhi syarat cukup tidaklah layak kita memberikan penilaian yang tidak berdasar dengan melihat akibatnya tanpa mau melihat proses dan motifnya!.

Kesimpulan
Nepotisme bisa dianggap nepotisme-buruk dengan syarat terjadi bermotif keserakahan yang menimbulkan ketidakadilan sehingga mengakibatkan kecemburuan. Nepotisme bisa dianggap nepotisme-baik dengan syarat bisa meningkatkan efisiensi dalam rangka mewujudkan tujuan yang ditetapkan. Artinya nepotisme ber-ambivalensi nilai. Dan untuk menentukan nilai nepotisme pun ternyata tidak bebas dari motif dan persyaratannya. Nepotisme bersifat relatif yang tidak bebas dari motif dan persyaratan yang menyebabkan sesuatu atau seseorang bisa dianggap nepotisem. sehingga tidak bisa dijadikan ukuran untuk menilai sesuatu atau seseorang. karena membutuhkan persyaratan-persyaratan dengan parameter untuk mengukurnya adalah normatif. Dan nilai normatif yang diakui konsisten adalah agama, sehingga Agama lah yang paling berhak memberikan batasan terhadap nepotisme.

Jadi bagaimana kita bisa membicarakan permasalahan nepotisme kalau batasan-batasan terhadap istilah ini adalah terlalu relatif dan normatif (dengan kata lain agamis). Sedangkan kita pada umumnya tidaklah mampu menterjemahkan dengan benar dan bijak sekaligus untuk hal-hal yang bersifat normatif. Kita lebih sering menyerah dalam jargon-jargon normatif tanpa pernah mau berpikir bagaimana norma-norma itu direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga akhirnya kita menyerah untuk menggunakan jargon kata-kata yang diberikan entah oleh siapa dalam menyikapi suatu bentuk praktek yang salah dari sekelompok atau seseorang. Mengapa tidak kita gunakan istilah-istilah sendiri yang lebih familiar dan pas dengan arti sebenarnya?.

Arief Boedijono
Mantan Senator SMITS Surabaya
ITS Surabaya

Berita Terkait