ITS News

Kamis, 25 April 2024
15 Maret 2005, 12:03

Lima Kandidat Rektor ITS, Siapa Saja Mereka dan Apa Keistimewaannya? (5-habis)

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Kesan akrab itu pun diakui oleh beberapa orang karyawan ITS. "Pak Nuh itu orangnya ramah dan supel," ujar seorang staf administrasi di kantor rektorat.

Mungkin hal ini wajar, mengingat usia M Nuh yang tergolong paling muda (43 tahun) jika dibanding kandidat rektor lainnya. Namun, jangan dikira usia muda membuat minimnya prestasi M Nuh.

Kiprahnya di dunia pendidikan dimulai sejak M Nuh lulus dari ITS di akhir tahun 1983. Tak lama berselang, ayah seorang putra ini diangkat menjadi dosen Teknik Elektro sejak tahun 1984. Lalu, tahun 1991, suami dari drg Laili Rahmawati ini dipercaya menjabat Sekretaris Program Studi D3 Teknik Elektro ITS.

Tahun 1992 hingga 1997, M Nuh menjabat sebagai Pembantu Direktur III. Lalu, sejak tahun 1997 hingga kini (dua periode), M Nuh dipercaya memegang jabatan tertinggi di PENS sebagai direktur.

Kepiawaiannya memimpin lembaga, didapat M Nuh saat meneruskan kuliah S2-nya di Universite Science et Technique du Languedoc, Montpellier Prancis. Di universitas ini pula M Nuh meraih gelar S3-nya.

Selain menggeluti berbagai aktivitas kampus, M Nuh juga menjabat sebagai ketua ICMI Jatim. Namun, jabatannya ini sempat memunculkan isu tak sedap. Rumor yang berkembang adalah soal kedekatannya dengan Mendiknas A Malik Fajar. Sumber Jawa Pos bahkan berani mengatakan bahwa ayah satu putra ini dipastikan menjadi rektor ITS karena "kedekatannya" ini.

Bagaimana komentar M Nuh atas tudingan ini? "Tidak ada hubungannya antara jabatan rektor dengan jabatan saya sebagai ketua ICMI Jatim," tegas. Menurutnya, tidak ada aturan yang melarang seorang rektor untuk aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.

M Nuh mempunyai cita-cita yang mulia seandainya terpilih sebagai rektor. "Saya ingin menjadikan ITS sebagai sentra pengembangan IPTEK," paparnya. Saat ini, menurut M Nur, kontribusi ITS pada pengembangan teknologi dinilai mulai abstrak. Semua itu, lanjutnya, disebabkan kurangnya pemahaman mengenai nilai-nilai moral etika berpendidikan. "ITS harus memiliki sertifikasi kompetensinya kembali," ujar pria yang gemar belajar ini.

Kesibukan M Nuh membuatnya jarang berada di rumah. Namun, itu tidak membuatnya lupa pada kewajibannya pada keluarga. Agama menjadi pegangan kuat bagi M Nuh, bukan hanya dalam bekerja, tapi juga dalam mendidik anak semata wayangnya. Itu sebabnya, M Nuh memilih menyekolahkan anaknya di sekolah Islam Al-Falah. "Saya ingin anak saya menjadi seorang yang bukan hanya cerdas, tapi juga memiliki keimanan tinggi," ujarnya. (firzan syahroni/habis)

Berita Terkait