ITS News

Sabtu, 11 Mei 2024
15 Maret 2005, 12:03

ITS Temukan Pohon Anti Polusi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

ITS kembali melahirkan temuan baru yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kehidupan warga Kota Surabaya. Temuan itu terkait dengan pengikisan dan pencegahan polusi udara kota yang kian membahayakan. Yakni, tentang pohon-pohon yang bisa menyerap limbah udara, dan titik-titik penanamannya yang tepat.

Menurut pakar lingkungan ITS Ir Joni Hermana MSc PhD, sumber polusi udara terbesar di Surabaya berasal dari gas buang yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Kadar gas buang (CO, karbon monoksida) ini akan sangat berbahaya jika volumenya melebihi baku mutu yang diperbolehkan, 30 miligram per meter kubik.

Untuk mengatasinya, kata Joni, perlu ditanami beberapa jenis tumbuhan pada tempat-tempat tertentu dengan konsentrasi pencemaran yang tinggi.

Hasil riset yang dilakukan tim Teknik Lingkungan ITS menemukan beberapa jenis tumbuhan yang terbukti mampu mengurangi polusi udara. "Kami meneliti 17 jenis tumbuhan. Dari jumlah itu, terdapat 4 pohon yang mampu menyerap CO," ujarnya.

Empat pohon itu adalah Angsana, Mangga, Tanjung, dan Mahoni. "Dari empat pohon itu, yang memiliki daya serap paling baik adalah Angsana," lanjutnya.

Selain empat tumbuhan itu, menurut Joni, ada beberapa tumbuhan perdu yang juga mampu mengurangi pencemaran udara. Tumbuhan perdu itu adalah Bougenville, Pangkasmas, dan Kembang Sepatu.

"Akan lebih baik lagi jika di satu titik jalan ditanami pohon Angsana dan tumbuhan perdu," ujarnya. Ini, kata Joni, akan membuat ketahanan tumbuhan menjadi lebih baik. "Kedua jenis tumbuhan itu mempunyai sifat saling memperbaiki," katanya.

Menurut penelitian, 70 persen emisi gas buang mampu direduksi oleh pohon Angsana. Sisanya (30 persen), direduksi oleh tumbuhan perdu. Joni juga melakukan penelitian mengenai lokasi jalan yang perlu dilakukan penanaman pohon dan tumbuhan perdu. Ada empat kategori jalan yang menjadi objek penelitian Joni. Yaitu jalan arteri primer (lebar jalan di atas 9 meter), arteri sekunder (lebar jalan kurang dari 8 meter), kolektor primer (lebar di atas 7 meter) dan kolektor sekunder (lebar jalan di bawah 7 meter). "Data fisik saya peroleh dari DPU (dinas pekerjaan umum) Surabaya tahun 2001," ujar Joni.

Dari beberapa jenis jalan itu, Joni menemukan bahwa tingkat polusi pada jalan kolektor sekunder menduduki peringkat pertama. "Itu wajar, sebab, jalan kolektor sekunder rawan macet. Dan, udara tidak bisa mengalir dengan bebas. Jadi, gas buangnya muter saja di tempat itu," terang dosen ekotoksilogi ini.

Penelitian juga berhasil merumuskan berapa jumlah pohon dan tumbuhan perdu yang harus ditanam di tiap jenis jalan. Dalam tabel yang diterima Jawa Pos, disebutkan bahwa tiap 100 meter jalan kolektor sekunder, harus ditanami 18 pohon Angsana dan 172 tumbuhan Bougenville.

Menurut Joni, hasil penelitiannya itu bisa dijadikan pedoman bagi Pemkot Surabaya untuk mengeluarkan kebijakan mengenai gerakan penghijauan kota. "Selama ini pemkot belum mempunyai acuan yang jelas dalam gerakan penghijauan. Yang saya lihat, penanaman tumbuhan kurang teratur dan penempatannya juga kurang tepat," ujar Joni.

Akhir November lalu, kata Joni, pihaknya telah mempresentasikan hasil penelitiannya itu di hadapan pejabat Balitbangda. "Mereka masih mengkajinya lagi," tukas pria 52 tahun ini. (oni/mms)

Berita Terkait