ITS News

Kamis, 25 April 2024
15 Maret 2005, 12:03

Catatan Indonesia Challenges (1) : Sarat dengan Pertunjukkan Budaya

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sebetulnya bukan secara kebetulan jika panitia yang baru saja diselenggarakan di Tanjung Benoa, Nusa Dua, Bali, 6-9 Februari 2004 menyungguhkan berbagai budaya didalam perhelatannya.

Itu pulalah kemudian kenapa panitia menggandeng kementrian pariwisata dan kebudayaan dan menempatkannya di Pulau Bali. Karena memang gagasan penyelenggaraan Indonesia Challenges sarat dengan muatan budaya.

Oleh sebab itu, ketika kabar lomba perahu layar tradisional itu tidak jadi dibuka oleh menteri I. Gede Ardika, kekecewaan panitia pun memuncak. Apalagi seperti diketahui saat pembukaan tidak ada seorang pun dari pihak Fakultas Teknologi Kelautan yang menaungi panitia hadir dalam acara pembukaan itu. Akhirnya kegiatan yang berskala nasional itu pun hanya dibuka oleh Pembantu Rektor III ITS, Ir Achmad Jazidie MEng, PhD.

Tapi daya juang mahasiswa kiranya tidak pernah surut, meski gagal dibuka
oleh menteri pihak panitia tetap mengusung atraksi kebudayaan, baik yang disiapkan oleh para peserta maupun panitia. Pihak panitia misalnya, pada malam pertama usai pembukaan menggelar pertunjukkan tari kontemporer, menghadirkan seniman tari yang telah memiliki nama internasional, Parmin Ras.
Mengambil judul Tirta Agni (Air dan Api), Parmin Ras menyuguhkan tontotan yang merefleksikan berbagai kejadian yang menimpa bangsa ini. Dia menggunakan simbol payung yang seharusnya dapat mengayomi masyarakat di bawahnya ternyata kenyataannya tak mampu memayungi, malah menimbulkan gejolak. "Inilah potret atau refleksi dari kehidupan negara ini. Saya tidak perlu menyebutkan contoh-contoh, karena semua itu sudah ada dihadapan mata kita," katanya.

Melalui pementasannya itu Parmin ingin mengajak para mahasiswa dan masyarakat untuk sadar dan segera melakukan sesuatu perbuahan untuk bangsa ini. "Bagi mahasiswa ini amat penting, karena di tangan dan pundak merekalah perubahan itu harus dilakukan," katanya.

Parmin menjelaskan makna dari tarian kontemporer yang disuguhkannya itu, bahwa kita harus segera melakukan pensucian diri dan melakukan tindakan agar kebusukan-kebusukan yang ada di masyarakat kita tidak terus membusuk dan menular kepada yang lain. "Anda para mahasiswa harus mampu berbuat, karena Andalah sesungguhnya para calon pemimpin kita mendatang. Kalau
saya seorang seniman hanya bisa menyampaikannya melalui lakon, tapi Anda
dengan segala kepandaian dan ilmu yang didapat di bangku kuliah harus mampu melakukan perubahan," kata laki-laki kelahiran 23 Februari 1954 ini.

Dalam tarian Tirta Agni itu, Parmin menari mengelilingi lingkaran api sembari membawa paying yang dalam pentasnya itu akhirnya juga ikut terbakar. "Payung itu saya artikan sebagai orang-orang di atas yang seharusnya dapat mengayomi rakyat. Tapi sayang payung itu justru terbakar, akibat praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang mereka lakukan," kata ayah tiga anak ini menjelaskan akan makna pementasannya itu.

Tarian ini, kata Parmin di depan para mahasiswa yang menyambut hangat
pertunjukkan itu, merupakan respon terhadap pemerintah yang tidak mampu menyelamatkan rakyat dari krisis hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. "Pemerintah harus memberikan sesuatu kepada rakyat, karena itulah dalam akhir lakon tarian tadi saya menyiramkan air kepada pemain dan diri
saya sebagai simbol pemerintah harus memberikan sesuatu yang berarti bagi
rakyatnya dan segera membersihkan diri dari berbagai kotoran yang menempel dalam dirinya," kata Parmin yang hadir bersama dua anak dan isterinya.

Kenalkan Lamongan
Tidak hanya pertunjukkan Parmin yang kental dengan tema budaya, beberapa peserta lain juga mengusung budaya asal dimana perahu layar tradisional yang dibawanya berlomba itu. Tim Shark dari Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya ITS misalnya, ia mengusung semua kebudayaan masyarakat dari
Kabupaten Lamongan, baik saat defile pembukaan dengan mengenakan pakain khas batik sendang, yang dikenal sebagai batik asal Kabupaten Lamongan maupun dengan perahu layar yang digunakannya, diambil dari bentuk perahu layar asal nelayan Lamongan.
"Karena lomba ini bukan semata-mata memperebutkan kemenangan tapi juga menyuguhkan dan mengenalkan berbagai budaya yang ada di masyarakat, maka mesti kami tidak memboyong juara umum, tapi kami puas dengan telah menyuguhkan dan mengenalkan kepada masyarakat Bali dan juga para mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia tentang budaya dari Kabupaten Lamongan," kata ketua Tim Shark, Eko Prasetyo. Memang salah satu penilaian yang dimasukan dalam penjurian dalam kegiatan
ini adalah soal asal usul kapal serta kebudayaan yang melatarbelakanginya,
karena itu tiap peserta memang bukan hanya beradu cepat mencapai garis finsh, tapi juga diadu wawasannya tentang kebudayaan dari perahu yang diikutkan dalam lomba. Itu sebabnya kenapa meski harus bersusah payah dan mengeluarkan cukup banyak uang, Tim Bagas dari Universitas Hang Tuah (UHT)
Surabaya, mengajak para nelayan Pantai Kenjeran mendampingi mereka. Hasilnya UHT pun menjadi juara umum. (Bersambung)

Berita Terkait